Powered By Blogger

Welcome Sahabat.

Saya sebagai penulis berharap dapat berbagi ilmu dan pengalaman bersama-sama sahabat semua. thanks

Jumat, 03 April 2009

ESENSI SYIRIK (MUSYRIK) KEPADA ALLAH

Sabtu, 04 April 2009

Berdasarkan faham Alloh yang Rohman dan yang Rohim, segala puji bagi Alloh Yang Mencipta dan Mengatur alam semesta, yang hanya kepada Engkaulah seharusnya kami mengabdi dan meminta pertolongan. Kemudian shalawat serta salam kita curahkan kepada para Rosul, khususnya Muhammad yang telah sempurna dalam menjalankan Misi Risalah-Nya yakni tegaknya Islam sebagai satu-satunya Dien Haq yang Alloh ridhoi.

Terdapat hubungan atau kaitan yang sangat erat antara Penciptaan Makhluk, termasuk manusia[1], dengan Pengabdiannya kepada Sang Pencipta, Alloh. Dalam salah satu surah, yakni surah Adz Dzaariyat 51:56 dijelaskan bahwa tidaklah Alloh menciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Nya. Bahwa dalam setiap proses penciptaan, terdapat suatu pengabdian. Artinya, seharusnya dari proses penciptaan yang kita amati, kita beroleh ibroh ‘pelajaran’ tentang pengabdian yang benar. Tentu saja, untuk dapat mengetahui dan memahami secara benar dan pasti atas proses penciptaan, maka diperlukan suatu ilmu. Nah, dari sinilah kita baru dapat memahami bahwa memang dalam upaya pengabdian kita kepada Alloh mutlak dibutuhkan sebuah ilmu, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Israa 17:36.

Adanya kepenguasaan atas ilmu ini sesuai dengan kata ya’budu (= liya’buduni) atau mengabdi yang terdapat dalam surah Adz Dzaariyat di atas. Dalam beberapa terjemahan, kata liya’buduni dalam ayat itu seringkali diterjemahkan secara tidak tepat, yakni untuk menyembah-Ku. Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kata mengabdi dengan kata menyembah. Kata yang pertama, yakni mengabdi memiliki lingkup yang lebih luas dibandingkan kata yang kedua, yakni menyembah[2]. Jika kata liya’buduni diartikan dengan untuk menyembah-Ku, maka konteksnya akan terbatas hanya pada ritus-ritus penyembahan dan pemujaan. Akibatnya, orang berfikiran bahwa masalah agama hanya terbatas pada perihal lima rukun Islam, dan enam rukun Iman, sementara di luar daripada itu tidak.

Berbeda dengan kata menyembah yang lingkupnya begitu terbatas, kata mengabdi memiliki lingkup yang tidak hanya luas tetapi begitu luas, melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bahasa yang gampang dimengerti (dan mempermudah untuk membedakannya dengan kata menyembah), jika kata ya’budu diterjemahkan mengabdi, maka tidak ada pemisahan antara masalah agama dengan masalah duniawi, dan inilah yang seharusnya terjadi. Sebagai contoh, orang yang bekerja dan melakukan aktivitas-aktivitas yang ditujukan bagi kepentingan negara, yang menaati aturan-aturan atau hukum-hukum negara, dapat dikatakan sebagai mengabdi pada negara. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai warga negara atau pengabdi negara yang baik, jika dia tidak menaati aturan-aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam negara tersebut. Hal yang sifatnya demikian pun terjadi dalam konteks pengabdian manusia kepada Sang Kholiqnya, Alloh. Dia-lah yang telah menciptakan makhluq, termasuk manusia, dengan segala macam dan bentuk ketetapannya. Oleh karena itu, manusia baru dapat dikatakan mengabdi kepada Alloh, jika segala aktivitas yang dilakukannya ditujukan hanya untuk Alloh, dan tidak menyalahi atau keluar dari aturan-aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.

Di awal telah dijelaskan bahwa dalam upaya pengabdian kita kepada Alloh mutlak dibutuhkan suatu ilmu. Terkait dengan ilmu ini, ada beberapa hal yang tidak boleh kita lakukan, yakni 1) Mengikuti dengan tanpa dipelajari dan dipahami dulu apa-apa yang diwariskan nenek moyang, karena nenek moyang tidak mengetahui sesuatu apa pun dan tidak berpetunjuk –Al Baqarah 2:170-, 2) Melakukan sesuatu atas dasar kebenaran individu (persangkaan), sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran –An Najm 53:28-, dan 3) Mengikuti kebanyakan orang hanya karena jumlah yang lebih besar, padahal mereka (kebanyakan orang) hanya menyesatkan dikarenakan mengikuti persangkaan belaka dan berdusta –Al An’am 6:116-.

Jika mengikuti kebenaran individu tidak boleh, mengikuti tradisi nenek moyang dan kebanyakan orang juga tidak boleh, lalu apakah yang harus diikuti? Jawabannya adalah Al Quran, sebagaimana diterangkan dalam surah Al A’raaf 7:3, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (Al Quran) dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[3]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” Sangat jelas, bahwa dalam ayat tersebut terdapat perintah (ittabi’uu = ikutilah!) untuk mengikuti apa yang diturunkan kepadamu, yakni Al Quran. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa mengabdi kepada Alloh harus berdasarkan ilmu, dan untuk mendapatkan dan memahami ilmu tersebut harus melalui Al Quran, karena di dalamnya dijelaskan segala sesuatu dan menjadi petunjuk serta rahmat bagi mereka yang meyakininya.

Hari ini banyak yang berfahaman bahwa sangat sulit atau tidak mudah untuk mempelajari Al Quran, karena terlebih dulu harus bisa tajwid, nahwu-shorof, manteq dan lain-lain. Sementara untuk dapat memahami hal-hal tersebut, misalnya, nahwu-shorof sangatlah sulit dan diperlukan waktu yang cukup lama. Inilah nampaknya informasi yang membuat banyak orang terjebak ke dalam salah satu atau bahkan ke ketiga poin yang tidak boleh dilakukan. Karena informasi yang tidak lengkap tersebut, akhirnya banyak orang lebih menyukai untuk mendengarkan saja apa kata orang, atau cukup mengikuti dan melanjutkan apa-apa yang telah diwariskan nenek moyang, yang justru menyebabkan mereka tidak akan pernah tahu bagaimana bentuk mengabdi yang benar kepada Alloh.

Hal yang sebenarnya adalah bahwa untuk dapat mempelajari dan memahami Al Quran sangatlah mudah, sebagaimana dijelaskan dalam surat Thaahaa 20:2, dan Al Qomar 54:17. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” Hari ini banyak yang mengerti tajwid[4], nahwu-shorof, manteq dan lain-lainnya, tetapi pertanyaannya adalah kenapa banyak orang tidak dapat memahami Al Quran? Alasannya adalah karena Al Quran merupakan kitab suci yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang suci pula, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Waaqi’ah 56:77-79, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya (Al Quran) kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Sangat jelas dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa hanya orang-orang yang suci yang dapat menyentuh Al Quran. Jadi, tidak dapat difahaminya Al Quran bukan karena tajwid, nahwu-shorof, manteq dan lain-lain, tetapi karena ada persyaratan untuk dapat memahaminya, yakni orang harus dalam keadaan suci.

Yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas bukanlah menyentuh dalam artian fisik, dan juga bukan menyentuh fisik mushaf Al Quran. Karena ketika ayat ini turun, Al Quran belum dimushafkan (dibukukan) dan dicetak dalam bentuk buku. Di samping itu, sangatlah tidak masuk akal jika fisik mushaf Al Quran tidak dapat disentuh secara fisik. Siapa pun orangnya, meskipun dalam kondisi yang kotor (fisik) atau bahkan yang bukan beragama Islam, pasti dapat menyentuh fisik Al Quran secara fisik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat tersebut bukanlah menyentuh dalam artian fisik, tetapi secara nilai. Yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat tersebut adalah memahami, sehingga terjemahan dalam ayat tersebut dapat dibahasakan seperti kalimat ini, “Tidak memahaminya (Al Quran) kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Tentu saja, sarana yang dapat digunakan untuk memahami adalah otak (fikiran). Jadi, jika otak (fikiran) seseorang dalam kondisi yang kotor, maka dia tidak akan dapat memahami Al Quran.

Kita telah memahami apa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat tersebut, lantas apakah yang dimaksud dengan najis? Perihal najis ini dijelaskan dalam surah At Taubah 9:28, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Jadi, jelaslah yang dimaksud dengan najis di sini bukanlah najis secara fisik, tetapi nilai yakni kemusyrikan. Orang tidak akan dapat memahami Al Quran ketika dalam kondisi yang najis yakni musyrik. Karena untuk dapat mengabdi kepada Alloh harus berdasarkan ilmu yakni Al Quran, sementara Al Quran sendiri tidak dapat difahami ketika dalam kondisi musyrik, maka hal pertama yang harus difahami terlebih dulu adalah perihal kemusyrikan.



Faham Kemusyrikan

Syirik atau mempersekutukan Alloh merupakan perbuatan yang paling dibenci Alloh, merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni –An Nisaa 4:48-, serta amalan-amalan yang telah dikerjakan oleh orang-orang musyrik akan dilenyapkan –Al An’aam 6:88-. Alloh sangat murka kepada makhluk yang mempersekutukan Dia dengan sesuatu apa pun. Dalam Al Quran terdapat larangan untuk mempersekutukan Alloh, karena mempersekutukan Alloh merupakan kezhaliman yang amat besar –Luqman 31:13-. Lalu, apakah yang dimaksud dengan syirik?

Syirik berasal dari kata syaroka yang artinya adalah mempersekutukan, menyamakan, atau menduakan. Hari ini orang-orang jika ditanya tentang syirik, maka jawabannya pasti syirik itu adalah mempersekutukan atau menduakan Alloh. Contohnya adalah menyembah patung, menyembah pohon besar, percaya kepada dukun, meyakini keris memiliki kekuatan yang besar, dan lain-lain. Demikianlah pemahaman orang-orang tentang syirik, dan setiap kali ditanya tentang syirik, maka jawabannya pasti itu. Sebenarnya yang dimaksud dengan syirik tidaklah seperti itu. Jika, misalnya, syirik dicontohkan dengan menyembah patung atau percaya kepada dukun, berarti dalam pemahaman orang-orang tersebut Alloh seperti (berwujud) patung atau dukun. Ada dua patung, patung A dan patung B (= Alloh), tetapi yang disembah orang-orang adalah patung A, sehingga dikatakan orang-orang tersebut telah mempersekutukan atau menduakan (= menomorduakan) Alloh. Atau terdapat dua dukun, dukun I dan dukun II (= Alloh), tetapi yang dipercayai adalah dukun I, sehingga orang-orang itu dikatakan telah berbuat syirik terhadap Alloh. Tidak demikian saudara! Yang dimaksud dengan syirik tidaklah seperti itu karena dalam surah Asy Syuura 42:11 dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Alloh.

Dalam surah Asy Syuura 42:11 tersebut, dikatakan bahwa Dia-lah Alloh yang telah menciptakan Langit dan Bumi dan segala isinya. Karena Dia-lah Alloh satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, maka Alloh punya peran (peranan) yang seharusnya tidak dapat dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya. Ketika ada makhluk ciptaan-Nya yang berperan selayaknya Sang Pencipta, yakni Alloh, maka dikatakan telah terjadi kemusyrikan. Lalu, apakah peranan Alloh yang telah menciptakan makhluk-Nya? Peranan Alloh ini digambarkan dalam surah Al Fatihah 1:2,4,dan 5.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Segala puji bagi Alloh, Robb semesta Alam (ayat 2)
Yang Menguasai (Malik) hari pembalasan (ayat 4)
Hanya kepada Engkau-lah kami mengabdi (Ma’bud) dan meminta pertolongan (ayat 5)

Jadi, Alloh mempunyai tiga peranan yakni selaku Robb (Pengatur), Malik (Penguasa), dan Ma’bud (Yang Diabdi). Yang dimaksud Alloh berperan selaku Robb adalah Alloh selaku satu-satunya Pengatur di alam semesta, termasuk pengatur kehidupan ummat manusia. Alloh selaku Malik adalah Alloh selaku satu-satunya yang berkuasa atas segala yang diciptakan-Nya. Kemudian Alloh selaku Ma’bud adalah Alloh selaku satu-satunya yang diabdi oleh makhluk-Nya. Tentu, karena Dia-lah Alloh yang menjadi Pengatur dan Penguasa, maka Dia-lah Alloh satu-satunya yang diabdi oleh makhluk-Nya.

Ketiga peran Alloh inilah yang tidak boleh disekutukan manusia. Manusia tidak boleh menggunakan aturan atau hukum selain aturan atau hukum Alloh. Manusia tidak boleh berlindung di bawah kekuasaan selain kekuasaan Alloh. Serta manusia tidak boleh tunduk-patuh atau mengabdikan dirinya selain kepada Alloh saja. Ketiga peran Alloh inilah yang disebut dengan Ilah[5]. Kemudian wujud atau manifestasi daripada Ilah adalah Dien. Tentu Dia Alloh selaku Sang Robb atau Pengatur memiliki Rububiyah ‘aturan’, Alloh selaku Malik atau Penguasa memiliki mulkiyah ‘kekuasaan’, dan Alloh selaku Ma’bud atau Yang Diabdi memiliki Ubudiyah ‘pengabdian’. Rububiyah, mulkiyah dan ubudiyah –seringkali disebut juga dengan uluhiyah- inilah yang dinamakan dengan Dien. Nah, dien inilah yang sebenarnya diajarkan oleh para Nabi dan Rosul, baik Muhammad, Isa, Musa maupun para nabi dan rosul sebelumnya.

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari selain Dien Alloh, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.”

Terkait dengan Dien ini, dikatakan bahwa ada manusia yang mencari selain Dien Alloh –Ali Imran 3:83-. Dalam ayat ini terdapat kata yabghuuna yang di dalamnya mengandung dhomir[6] (kata pengganti) hum (mereka). Dhomir hum yang artinya adalah mereka, yang dimaksud adalah manusia jamak atau manusia dalam jumlah yang banyak. Sehingga terjemahan ayat tersebut dapat ditulis secara lebih lengkap menjadi “Maka apakah mereka (manusia) mencari selain Dien Alloh, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allohlah mereka (manusia) dikembalikan.” Berdasarkan ayat ini, berarti ada manusia yang hidup tidak berdasarkan Dien Alloh. Nah, adanya manusia yang hidup tidak berdasarkan Dien Alloh, melainkan hidup berdasarkan dien yang lain ini, diperjelas lagi dalam surah An Nisaa 4:60.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”

Menurut Al Quran, mengabdi yang benar adalah hanya kepada Alloh, dalam artian hanya Alloh sebagai Robb, Malik dan Ma’bud. Manusia dikatakan tidak mengabdi kepada Alloh ketika dalam pengabdiannya dia tidak menjadikan Alloh selaku satu-satunya Robb, Malik dan Ma’bud. Wujud atau bentuk pengabdian kita kepada Alloh adalah dengan mengikuti atau mengimani apa yang telah diturunkan-Nya yakni Al Quran (apa yang diturunkan kepadamu) dan juga kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran. Dalam surah An Nisaa 4:60 ini dijelaskan bahwa ada orang-orang yang mengaku beriman kepada Al Quran (sebagai wujud pengabdian kepada Alloh), tetapi pada saat yang sama dia juga berhakim (berhukum) pada aturan-aturan atau hukum-hukum yang di luar Al Quran (thogut). Nah, orang yang seperti ini dikatakan telah sesat sejauh-jauhnya. Dalam ayat yang lain, orang yang tersesat sejauh-jauhnya dikatakan sebagai orang-orang yang musyrik –An Nisaa 4:116-. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu)(= musyrik) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” Jadi, dapatlah kita pahami bahwa ketika ada yang berhukum tidak pada aturan-aturan atau hukum-hukum Alloh (Al Quran) dia dikatakan telah berbuat kemusyrikan. Menurut surah An Nisaa 4:60, ada orang-orang yang merasa (mengaku) telah beriman kepada Alloh, tetapi pada saat yang sama dia juga berhukum pada thogut (aturan atau hukum yang di luar Al Quran). Padahal antara hukum atau aturan Alloh dengan hukum atau aturan thoghut adalah berbeda.

Yang seperti inilah yang dikatakan sebagai orang yang musyrik atau tersesat sejauh-jauhnya.
Qs.4/60
MUSYRIK

Kata thogut berarti tiap-tiap yang melampaui batas. Artinya, ada orang-orang yang seharusnya hanya mengabdi kepada Alloh, dalam artian hanya menjadikan Alloh sebagai satu-satunya Pengatur, satu-satunya Penguasa dan satu-satunya Yang Diabdi, tetapi melampaui batasan tersebut, yakni menjadikan selain Alloh (thoghut) sebagai pengatur, penguasa dan yang diabdi. Kata thoghut ini merujuk pada masalah hukum, sehingga dalam penggalan ayat sebelumnya dikatakan An Yatahaakamuu ‘berhukum’. Kata ini (thoghut) masih satu akar kata dengan kata thogho yang terdapat dalam surah An Naazi’aat 79 ayat 17 dan 24.

اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
"Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, (ayat 17)
(Seraya) berkata: "Aku (Firaun) lah tuhanmu yang paling tinggi." (ayat 24)

Yang dimaksud bahwa Firaun melampaui batas dalam ayat tersebut adalah Firaun melaksanakan peran-peran yang seharusnya hanya Alloh yang berhak berperan demikian. Dalam hal ini Firaun merasa dan memerintahkan kepada setiap orang untuk menganggap dirinya sebagai pengatur yang tertinggi, satu-satunya penguasa dan sebagai satu-satunya yang diabdi. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam ayat berikutnya, yakni ayat ke-24.

Meskipun dalam surah An Naazi’aat 79 ayat 17 dan 24, yang disinggung adalah kasus Firaun. Tetapi, hal ini bukan berarti masalah itu sudah tidak mungkin lagi terjadi pada masa sekarang ini. Surah An Nisaa 4:60 dan surat-surat lainnya, yang didalamnya dijelaskan masalah kemusyrikan ini masih berlaku sampai sekarang, dan bahkan akan terus berlaku pada kehidupan generasi selanjutnya, selama syarat dan kondisi kemusyrikannya terpenuhi. Artinya, dalam kehidupan kita hari ini, kita masih bisa menemukan orang-orang yang dikatakan sebagai orang-orang musyrik atau tersesat sejauh-jauhnya tersebut. Nah, pertanyaannya adalah apakah kita termasuk orang-orang yang musyrik atau tidak?
Wujud Konkrit Mempersekutukan Alloh

Di awal telah dijelaskan bahwa ajaran yang dibawa para nabi dan rosul adalah sama, yakni mengabdi kepada Alloh dengan cara menjadikan Alloh saja sebagai Pengatur, Penguasa dan Yang Diabdi. Ketika ajaran yang digunakan adalah ajaran Alloh, atau ketika yang diabdi hanyalah Alloh, maka manusia pasti akan hidup dalam kondisi yang tauhid ‘bersatu’ –Al Anbiyaa 21:92. “Sesungguhnya (dien tauhid) ini adalah dien kamu semua; dien yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka mengabdilah kepada-Ku.”

Kemudian dijelaskan juga bahwa dosa yang paling dibenci dan tidak diampuni oleh Alloh adalah syirik. Adapun ciri-ciri dari kehidupan syirik dijelaskan dalam surah Ar Ruum 30:31-32.

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik),
Yaitu orang-orang yang memecah belah dien mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

Menurut surah Ar Ruum 30:32, ciri-ciri dari orang-orang yang musyrik adalah; 1) Yang memecah belah dien, 2) Menjadi beberapa golongan, dan 3) Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya masing-masing. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar di bawah ini.



KRISTEN
ISLAM
YAHUDI
Gambar 02:

Hari ini jika kita bicara tentang agama, maka kenyataan yang kita dapati adalah bahwa terdapat banyak dan bermacam-macam agama, di samping juga aliran kepercayaan. Dimana masing-masing agama tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut penganut agama Islam, Islam adalah ajaran baru yang ada setelah Muhammad, bahwa sebelum Muhammad tidak ada Islam. Demikian juga penganut agama Kristen, menurut mereka ajaran merekalah hari ini yang benar, yang dibawa oleh Yesus Kristus. Tidak ketinggalan penganut ajaran Yahudi, menurut mereka ajaran merekalah yang benar, yang dibawa oleh Musa. Demikianlah kondisi yang terjadi dalam kehidupan kita hari ini.

Jika kita mengacu kepada surah Ar Ruum 30:31-32 tadi, berarti hari ini kita sedang terjebak dalam kondisi kemusyrikan.


















Hari ini, masing-masing penganut agama tertentu meyakini bahwa agamanyalah yang benar. Masing-masing meyakini bahwa ajaran (agama) mereka berbeda karena berbedanya rosul yang membawa ajaran tersebut. Katakanlah Islam, menurut penganutnya Islam sebagai sebuah agama baru ada setelah Muhammad, karena yang membawanya adalah Muhammad. Sementara Isa dan Musa adalah rosul-rosul kecil yang tidak tuntas dalam menjalankan tugasnya. Menurut penganut ini, ajaran yang terdapat dalam agama Kristen dan Yahudi sudah tidak Up to Date lagi karena setelah Isa Alloh telah mengutus Muhammad yang membawa ajaran (agama) baru yakni Islam. Demikian pula sebaliknya, menurut penganut agama Kristen, agama merekalah yang benar sementara yang lain tidak, sedangkan menurut penganut agama Yahudi, agama merekalah yang benar. Masing-masing meyakini bahwa Rosul yang telah Alloh utus kepada mereka membawa ajaran yang berbeda-beda.

Padahal, jika kita lihat langsung ke dalam kitab suci, misalnya Al Quran, sangat jelas di dalamnya dijelaskan bahwa ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rosul adalah sama karena yang mengutus masing-masing mereka adalah sama, yakni Alloh –surat Al Baqarah 2:130-133, Ali Imran 3:67, Al An’aam 6:161-162, dan lain-lain. Karena saat ini kita hidup dalam kondisi yang demikian, berarti kita sedang hidup dalam kondisi kemusyrikan, yakni kondisi kehidupan yang amat Alloh benci. Lantas bagaimanakah cara agar dapat keluar dari kemusyrikan tersebut?

Uzlah sebagai Bentuk Mencontoh Para Rosul

Untuk dapat terbebas dari kondisi kemusyrikan, maka seseorang harus mau kembali kepada Alloh –Ali Imran 3:31. Bagaimanakah cara untuk dapat kembali pada Alloh? Yakni dengan cara mengikuti atau mencontoh Rosul –Al Ahzab 33:21. Apakah bentuk yang dicontohkan Rosul sehingga kita dapat keluar dari kondisi kemusyrikan? Yakni melakukan sesuatu yang disebut dengan uzlah, sebagaimana dijelskan dalam surah Al Kahfi 18:16, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka abdi selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah.



الطاغوت
MUSYRIK
Qs.18/16, Uzlah
الله
Gambar 03:
Menurut surah Al Kahfi 18:16, seseorang jika ingin keluar dari kondisi kemusyrikan, maka yang harus dilakukan Uzlah, yakni masuk ke dalam Gua.

Yang dimaksud gua bukanlah gua secara fisik, tetapi hanya penggambaran upaya mengamankan aqidah iman dari tercampur aqidah musyrik.
MUKMIN
















Apabila kamu ingin meninggalkan mereka (orang-orang musyrik) dan apa-apa yang mereka abdi selain Alloh (thoghut), maka Allah perintahkan untuk mencari tempat berlindung ke dalam gua. Maksudnya adalah, mengamankan aqidah iman dari tercampur aqidah musyrik. Kata meninggalkan dalam ayat ini adalah meninggalkan secara aqidah. Secara fisik masih tetap berhubungan dengan mereka, tetapi secara aqidah sudah berbeda dengan mereka. Ini yang disebut dengan selemah-lemahnya iman. Rosul pernah bersabda: “Apabila kamu melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, tapi kalau tidak mampu maka cegahlah dengan lisanmu, apabila tidak mampu maka cegahlah dalam qolbumu, itulah selemah-lemah iman. Berdasarkan hadits tersebut, maka upaya yang dapat kita lakukan baru sebatas meninggalkan secara aqidah. Inilah yang dinamakan dengan uzlah, yakni berpindah dari aqidah musyrik kepada aqidah iman.

Nah, tentang iman itu sendiri, dalam Al Quran dijelaskan bahwa seseorang dikatakan iman apabila telah mendapatkan izin dari Alloh –Yunus 10:100-. “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” Berdasarkan ayat ini, berarti manusia tidak gampang atau tidak mudah untuk menyatakan dirinya beriman, tetapi harus mendapatkan izin dari Allah terlebih dahulu. Apakah yang dimaksud dengan izin Alloh? Maksud izin Alloh ini dijelaskan dalam surah Al Hadiid 57:8. “Dan Mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. dan Sesungguhnya dia Telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman.

Berdasarkan ayat ini, berarti manusia baru akan dikatakan iman kepada Allah ketika sudah mengadakan perjanjian dengan Allah (=Mitsaq), sebagaimana yang telah dilakukan para Nabi dan Rosul sebelumnya, yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad –Al Ahzab 33:7. “Dan (Ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan kami Telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” Jadi, yang harus dilakukan manusia agar dapat keluar dari kondisi kemusyrikan adalah dengan ber-Mitsaq kepada Alloh. Hanya orang-orang yang mengadakan janji pada Allah saja yang berhak mendapat syafaat dari Allah –Maryam 19:87. “Mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali orang yang Telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah.

Mereka (orang-orang yang masih musyrik) tidak akan ditolong Allah sebelum mereka mengadakan perjanjian kepada-Nya. Karena Alloh hanya akan memberi syafaat (pertolongan)-Nya kepada orang-orang yang telah mengadakan perjanjian dengan-Nya. Bentuk syafaat (pertolongan) Allah tersebut adalah; a) Orang tersebut akan Allah keluarkan dari kondisi kemusyrikan, b) Dosa-dosanya akan diampuni, dan c) Allah akan selalu menjaganya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan Al Quran.

Jika kita telah sanggup atau bersedia bermitsaq kepada Alloh, lalu apakah isi dari perjanjian tersebut? Isi atau poin mitsaq itu dijelaskan dalam surah Al Mumtahanah 60:12. “Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Demikianlah materi Talwiyah yang dapat disampaikan dalam kesempatan ini. Semoga dari apa yang dipahami dalam materi ini, dapat memudahkan dalam memahami konsep-konsep kebenaran yang lainnya yang ada dalam Al Quran.
[1] Alam semesta adalah fana. Ada penciptaan, proses dari ketiadaan menjadi ada, dan akhirnya hancur. Di antaranya ada penciptaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di dalamnya berlangsung pula ribuan bahkan jutaan proses kimia, fisika, biologi, dan proses-proses lain yang tak diketahui. Semula penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas, dan terjadinya secara kebetulan (Teori Kebetulan Materialisme). Pemahaman bahwa alam semesta terjadi secara kebetulan dibantah oleh seorang ahli matematika Inggris terkenal, yakni Roger Penrose. Menurut Penrose, peluang alam semesta terjadi secara kebetulan adalah 1 banding 1010123. Frase “sangat mustahil” tidak cukup untuk menggambarkan peluang ini.
Sangat mustahil sekalinya –merupakan bentuk yang tidak baku- alam semesta berbentuk secara kebetulan, menjelaskan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Dzat Pencipta, yakni Robbul ‘Alamin. Di mana seluruh makhluk yang ada di alam semesta tunduk-patuh kepada aturan-aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.
[2] Nampaknya, adanya pemisahan yang tegas antara masalah agama dengan masalah duniawi bermula dari penerjemahan yang tidak tepat atas lafadz atau kalimat liya’buduni. Orang-orang hari ini banyak yang berfikiran bahwa masalah duniawi, misalnya kerja dalam segala macam dan bentuknya, tidak ada kaitan atau hubungannya dengan masalah agama, misalnya sembahyang, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.
[3] Dalam surah Al Baqarah 2:185, dijelaskan bahwa salah satu dimensi Al Quran adalah huda linnaas, sebagai petunjuk atau pedoman bagi manusia. Dalam kalimat yang lain, Al Quran dapat dikatakan sebagai penuntun atau yang menuntun manusia untuk dapat mengabdi secara benar kepada Alloh. Sedangkan, dalam surah Al A’raaf 7:3 tadi terdapat perintah untuk mengikuti Al Quran dan larangan untuk mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pemimpin di sini adalah Al Quran itu sendiri karena salah satu fungsinya sebagai petunjuk, pedoman atau penuntun manusia, dimana yang bertugas memberikan petunjuk, penuntun atau guide adalah seorang pemimpin. Dalam hal ini, Al Quran dimajashiperbolakan.
[4] Tajwid adalah ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui tempat keluarnya huruf hijaiyah (makhraj), dan sifat-sifatnya serta bacaan-bacaannya. Sedangkan manteq adalah ilmu logika.
[5] Jadi, yang dimaksud dengan Ilah dalam kalimat ke-1 daripada syahadat, yakni Laa ilaha illa Alloh, adalah tidak ada Robb (Pengatur), tidak ada Malik (Yang Berkuasa) dan tidak ada Ma’bud (Yang Diabdi) selain daripada Alloh.
[6] Dalam bahasa Arab, dhamir (kata pengganti) memiliki empat belas bentuk. 1) Huwa: dia laki-laki satu, 2) Huma: dia laki-laki dua, 3) Hum: mereka laki-laki banyak, 4) Hiya: dia prempuan satu, 5) Huma: dia prempuan dua, 6) Hunna: mereka prempuan banyak, 7) Anta: kamu laki-laki satu, 8) Antuma: kamu laki-laki dua, 9) Antum: kalian laki-laki banyak, 10) Anti: kamu prempuan satu, 11) Antuma: kamu prempuan dua, 12) Antunna: kalian prempuan banyak, 13) Ana: saya, dan 14) Nahnu: kami atau kita. Jadi, semuanya berjumlah empat belas dhamir.

Tidak ada komentar: